Selasa, 04 Desember 2012

Berpikir, Bertuhan, dan Melawan



“ Kalau kemanusiaan terusik, maka semuanya akan terusik, kecuali orang yang gila dan orang yang tidak berperasaan sekalipun dia sarjana ”.
-Pramoedya Ananta Toer -

“ Orang-orang yang terpanggil untuk melakukan upaya-upaya perbaikan di tengah situasi dan kondisi yang sarat kerusakan adalah orang-orang yang memiliki semangat profetik tinggi...ketiadaan harapan itulah yang kemudian menyebabkan orang-orang tertentu yang memiliki komitmen kuat kepada panggilan profetik untuk mengabdikan diri dengan melakukan berbagai macam upaya perbaikan ”.
-Muhammad Nasih -
 
PREFACE
Lebih dari satu dekade setelah reformasi, (gerakan) mahasiswa memperoleh tantangan-tantangan barunya yang perlu dianalisis, didefinisikan dan direspon. Gerakan mahasiswa sebelum dan ketika 1998 merupakan salah satu puncak manifestasi idealitas dalam menumbangkan tirani orde baru. Penumbangan ini membuka kran demokrasi dan menguatnya masyarakat sipil. Akan tetapi di sisi lain, benih-benih yang sempat tenggelam berhamburan dan tenggelam dan tumbuh dipermukaan yang sebagian melanjutkan pola-pola lama kekuasaan seperti masih maraknya konflik agraria serta tergerusnya identitas kebangsaan.
Mahasiswa ada di persimpangan itu, dimana kesadaran akan fungsinya sebagai bagian dari intelektual yang bertugas menggawangi perubahan justru terjebak dalam carut-marut zaman. Mahasiswa sebagai eksponen perubahan idealnya mampu memberikan kontribusi nyata dalam memperbaiki kondisi bangsa. Namun apabila upaya perbaikan itu dilakukan secara individu tentu akan menghasilkan output yang kurang maksimal. Lalu? Salah satu cara agar upaya perbaikan itu menjadi massive adalah bekerja dan berjuang melalui sebuah organisasi.

BERPIKIR
                Berpikir merupakan salah satu aktivitas vital yang dilalukan oleh manusia dalam kehidupannya. Kita sebagai manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan diberikan kelebihan berupa akal yang harusnya dapat kita berdayagunakan, fungsikan, gunakan semaksimal dan seoptimal mungkin. Oleh karenanya sebagai mahasiwa yang cenderung terstigma sebagai sebuah golongan yang sarat akan nilai-nilai keintelektualitasannya kita gunakan akal yang telah dianugerahkan untuk kemudian kita gunakan untuk berfikir serta menganalisa segala apa yang ada di dunia ini. Proses berfikir pun sangat berguna ketika Nabi Ibrahim berproses mencari Tuhan. Dikisahkan dengan sangat indah Didalam Al-qur’an bahwa ketika Nabi Ibrahim berusaha untuk mencari siapa tuhannya terlebih dahulu Nabi Ibrahim menjalan sebuah proses perenungan yang panjang yang menuntunnya untuk menemukan Tuhannya. Dalam proses perenungan tersebut Nabi Ibrahim memberikan sebuah edukasi bagi kita agar senantiasa berfikir kritis. Sampai akhirnya Allah SWT memberikan jalan bagi Nabi Ibrahim serta memberinya pujian sebagai manusia hanif.

BERTUHAN
“Dan tidak kami ciptakan golongan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”
-Q.S Adz-zariyat : 56 -
Bertuhan adalah sebuah kebutuhan bagi manusia serta telah menjadi naluri yang harus di akomodir. Karena sungguh kita sebagai makhluk yang lemah tentu akan sangat membutuhkan keberadaan tuhan. Bertuhan adalah pilihan yang realistis bagi manusia, karena dengan bertuhan kita akan mendapati esensi dari kehidupan kita ini, selain itu kita juga akan mengetahui orientasi yang sesungguhnya dari keberadaan kita di dunia ini.
                Belajar yang paling baik adalah dengan pembacaan sejarah begitu kata orang, apabila kita cermati pada Perang Dunia I ketika itu negara Rusia masih bernama Uni Sovyet yang begitu digdaya dan merupakan salah satu negara adikuasa didunia. Namun dalam peperangan dunia itu yang terjadi justru adalah para tentara dari negara Sovyet menjadi kehilangan motivasi mereka dalam pertempuran tersebut. Mengapa? Karena merekaa tidak mempunyai orientasi yang jelas dalam kehidupan ini, mereka tidak bertuhan (baca - komunis) sehingga mereka tidak tahu apa yang mereka bela, mereka tidak tahu mati untuk siapa. Mari  kita komparasikan dengan para sahabat Nabi Muhammad ketika menemani beliau berjihad membela agama Allah SWT. Mereka berani syahid karena orientasi mereka jelas, yang mereka cari adalah Ridha Ilahi agar kelak mendapat ganjaran berupa Syurga-Nya yang hakiki.
MELAWAN
“Sungguh Allah SWT tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya”

Sejarah muhammadiyah adalah sejarah perlawanan, bagaimana tidak Ahmad Dahlan muda yang kelak akan menjadi the founding father dari gerakan Muhammadiyah sejak muda sudah mulai berpikir kritis tentang ketidakadilan sosial disekitar lingkungannya. Dia melihat adanya disparitas serta jurang pembeda yang teramat tajam dalam tatanan sosial kehidupan pada waktu itu. Ketika akhirnya ia mendirikan Muhammadiyah resitensi yang diperolehnya pun sangat luar biasa yang mencapai titik kulminasi ketika langgar kidoel nya dirobohkan. Begitupun ketika ia mereformasi sistem pendidikan yang mengombasikan pengetahuan agama dan umum. Sekolah-sekolah muhammadiyah saat itu bahkan diberikan cap wilderenschoolen (sekolah liar) oleh pemerintah Belanda. Namun Kyai Dahlan tidak menyerah dan justru melawan kondisi tersebut dengan dakwah bil hal sehingga benar-benar terjadi sebuah peerubahan.
Kita sebagai generasi muda terutama para mahasiswa seharusnya bisa mengambil pelajaran dari apa yang sudah dilakukan oleh Kyai Dahlan lebih dari seabad lalu. Kita harus berani serta mengambil inisiatif melawan segala sesuatu yang menyinggung kemanusiaan.
Akhirnya marilah kita berdo’a agar kita termasuk kedalam golongan siratal mustaqim (jalan yang lurus) bukan orang yang mau tapi tidak tahu (al-maghdub) dan orang yang tahu tapi tidak mau (ad-dhallin).Amin....
Billahifisabililhaqfastabiqulkhairat...........!!!

Manifesto Gerakan Intelektual Profetik; Sebuh Upaya Membumikan Profil Kader Ikatan



M.Nur Samsudin|Ketua Umum Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Tegal Periode 2011-2013

“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdo’a : Ya Tuhan kami keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi engkau”
-Q.S Al An Nisa : 75 -

“Mengatakan kebenaran di depan pemimpin yang dzalim adalah jihad yang paling besar”
-Hadits Nabi  -

“Dasar epistemologis gerakan profetik IMM adalah panggilan keimanan untuk meneruskan tugas-tugas kenabian yang mulia untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi pencerahan dan pembebasan manusia, sedangkan aksiologisnya didasarkan pada misi meningkatkan harkat dan martabat manusia kepada derajat kemanusiaan yang semestinya”
-Zaedi Basiturrozak -

SELAYANG PANDANG
“Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa social dimulai dengan perubahan cara berpikir. Mustahil ada perubahan, kalau kesalahan berpikir masih menjebak benak kita.”
- Kang Jalal

                Salah satu ranah diskusi yang selalu hangat untuk diperbicangkan oleh para kader IMM adalah mengenai penegasan profil kader, baru-baru ini kakanda A.H Sanni yang merupakan mantan ketua instruktur pusat DPP IMM menerbitkan sebuah buku yang mencoba memetakan tentang profil kader ikatan agar sesuai dengan ideologi ikatan. Lalu apa ideologi IMM? Ideologi IMM adalah Islam. Islam sebuah ideologi? Tentu bukan!!!. Islam sebagai ideologi? Tentu bisa!!! Apa itu ideologi dan prinsip-prinsipnya?  
                Cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak seseorang atau satu komunitas sangat ditentukan oleh konsepsinya tentang Tuhan, alam, manusia, masa lalu, dan konsep masa depannya. Kelima konsep inilah yang memberi suatu sistem hidup seseorang/ komunitas. Orang yang tidak mengakui keberadaan Tuhan akan berbeda cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak dengan orang yang sangat menyakini kerberadaan Tuhan. Perbedaan ini juga terjadi antara seseorang/komunitas yang konsepsi ketuhanannya berbeda.  Konsep, sistem hidup inilah yang menjadi pandangan dunia (Worldview/ Welstanchaung) seseorang atau komunitas. Pandangan dunia merupakan suatu prespektif atau penjelasan tentang segala segala seuatu yang maujud (realitas yang eksis). Pandangan dunia ini, pada batas tertentu, disebut juga ideologi.
                Ideologi adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk memberi arah atau petunjuk dalam mengungkap kebenaran sampai ketingkat melakukan verifikasi atas tindakan seseorang/komunitas. Tanpa standar tertentu dalam menetapkan penilaian terhadap perilaku sosial/komunitas, akan melahirkan hilangnya semangat mempertahankan dan memperjuagkan prinsip-prinsip yang dianggap benar, menyebabkan tumbuh suburnya perilaku masa bodoh serta lenyapnya optimisme masa depan. Aturan hidup terposisikan sebagai sesuatu yang tidak bermakna. Lemahnya militansi suatu komunitas pada prinsipnya karena tidak dapat difahaminya ideologi hidup yang benar sebagai sesuatu yang benar.
IMM sebagai bagian dari Muhammdiyah yang sejak awal meneriakan islam puritan tentunya berideologi Islam sebagaimana tertuang dalam Kepribadian Muhammdiyah. IMM harus dikembalikan pada Muhammdiyah masa awal sebagai gerakan Islam puritan (Al-harokah as-salafiyah). Tentunya bukan gerakan salaf seperti Muhammad bin Abdul Wahab yang melakukan kolaborasi dan negoisiasi politik dengan ibnu sa’ud di Saudi Arabia. Bukan pula gerakan salaf pada masa sahabat yang tak pandang bulu, tapi gerakan salaf dalam arti kembali kepada nilai-bilai substantif dari Rasulullah dan Ahlil-baitnya kemudian dibaca secara kontekstual.
                IMM, sebagaimana Muhammadiyah harus menjadikan Islam sebagai Ideologi yang hanya mengakui Allah sebagai kenenaran mutlak. IMM juga harus menyerukan Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah dan Ahlil-baitnya sebagai kebenaran, selain itu salah. Inilah Islam sebagai ideologi: ekspansif, toleran tapi tidak mengakui yang lain sebagai kebenaran ( pluralisasi Ok!! Pluralisme No!!/ Liberalisasi Ok!! Liberalisme No!!/ Toleransi Ok!! Sinkritisasi No!!). Sebab hidup adalah mengajak dan diajak, tidak bisa tidak netral apalagi bebas nilai sebagaimana diungkapkan salah seorang Ustadz Kritis, Murobby Neo- Marxis dari Pesantren Frankfurt, Kyai Jurgen Habermas dalam kitabnya “Knowlwdge and Human Interest”; Hidup tidak bisa bebas nilai apalagi netral, hidup harus menentukan pilihan. Tinggal kita memilih memihak pada siapa atau apa; Teosentris/ antroposentris.
Islam sebagai ideologi yang merupakan risalah Allah, merupakan ajaran kebenaran komprehensif yang mengatur aspek-aspek yang paling individual hingga tatanan sosial yang tertampung dalam kapasitas kemanusiaan manusia. Islam sebagai ideologi dapat menyelesaikan kebuntuan dan keraguan nalar manusia. Secara filosopis Islam menawarkan kepastian jalan mengenai aturan hidup yang paling ideal yang bisa ditemukan dalam Al-quran dan As-sunnah (fikr bayani- tekstual eksplanatif) yang dapat dipertanggung jawabkan lewat nalar kemanusian dan pembuktian –pembuktian logik (fikr burhani- rasional demonstratif).
                Kader IMM harus menjadikan Islam sebagai konsep keyakinan (Q.S. Al-baqarah:225), moral (Q.S. Al-A’raf:99), tingkah laku (Q.S. Al-Baqarah:138), perasaan (Q.S. Ar-Rum:30), pendidikan (Q.S. Al-Baqarah:151, Q.S Ali-Imran:164, Q.S Al-Jumu’ah:2), sosial (Q.S. An-Nur:7), politik (Q.S. Ali-Imran:85-86, Q.S Yusuf:40), ekonomi (Q.S. At-Taubah:60 & 103, Q.S Al-Hasyr:7) dan perundang-undangan (Q.S. An-Nisa: 65). Imam Ali berkata: Ana muslim qobla kulli sya: : Islam menjadi cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak sebelum mengerjakan segala perbuatan. Ber-IMM-lah karena motivasi beriman kepada Allah SWT.

GERAKAN (SINERGITAS) : BERJAMAAH YANG MENCERDASKAN
“Yang membedakan antara komunitas study dan organisasi adalah dalam wilayah pengkaderan, komunitas study jarang yang berumur panjang, biasanya ia mati ketika para pendirinya mati, beda dengan organisasi sekaliun telah jauh perjalanannya dari kematian para pendiri ia akan tetap eksis menuju kematangan sekalipun bisa juga meuju kehancuran, perbedaan ini terjadinya karena adanya sistem pengkaderan”
-Anomaly

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengedukasi kita makna berjama’ah. Melalui kuasa Allah SWT alam menjadi sumber ibspirasi bahwa kita membutuhkan kebersamaan. Berjamaah menjadi keniscayaan. Bersinergi menjadi kunci pembuka setiap kesuksesan kita. Yang harus kita sadari : hampir semua kesuksesan yang terjadi selalu menyertakan kebersamaan. Sebuah sukses besar yang dilakukan oleh seorang pahlawan senantiasa menyisakan catatan bahwa ia tak sendiri.
                Sinergi selalu menguatkan, bayangkan apabila organ-organ tubuh kita antara satu dan lainnya tidak mampu bersinergi maka tidak mungkin kita melakukan aktivitas sehari-hari. Apabila kaidah-kaidah sinergitas kita kontekstualkan kedalam bangunan keorganisasian maka sinergitas mutlak diperlukan. Karena hampir dipastikan setiap individu tidak akan mampu untuk menguasai segala sesuatu.  

PENEGASAN GERAKAN INTELEKTUAL
“Ketika hidup ini hanya untuk diri sendiri, maka ia akan terasa sangat singkat dan tak bermakna. Tapi ketika hidup ini kita persembahkan untuk orang lain, ia akan terasa panjang, dalam, dan penuh makna”
-Sayyid Quthb

Sebagai bagian dari kaum intelektual yang mempunyai karakteristik cerdas, pandai dan kritis IMM masih menjadi harapan masyarakat luas untuk dapat mengawal jalannya proses demokrasi di republik ini yang sedang berjalan tertatih-tatih. Diakui atau tidak, keberadaan IMM menjadi salah satu kekuatan yang senantiasa dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan yaitu pemerintahan negara. Proses pengawalan demokrasi itu bagi IMM adalah dengan penegasan dirinya sebagai gerakan intelektual dikarenakan gerakan spesifik IMM berada di lingkungan mahasiswa yang dianggap identik dengan budaya intelektual. Dari anggapan tersebut kemudian timbul pertanyaan tentang bagaimana identifikasi kader intelektual tersebut.
Dalam KBBI kata intelektual berkaitan dengan intelek yang merupakan istilah psikologi tetang daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berfikir. Kata itelek juga berkonotasi untuk menyebut kaum terpelajar auatu kaum cendekiawan. Sedangkan kata intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal dan berfikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.
Dari asal katanya intelektual berasal dari bahasa latin : intellectus yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan. Dalam pengertian sehari-hari kemudian berarti  kecerdasan, kepandaian, akal. Pengertian intelek ini berbeda dengan taraf kecerdasan atau intelegensia. Intelek lebih menunjukan pada apa yang dapat dilakukan manusia dengan intelegensinya. Hal yang tergantung pada latihan dan pengalaman. Dari pengertian istilah intelektualisme adalah sebuah doktrin filsafat yang menitikberatkan pengenalan (kognitif) melalui intelek serta secara metafisik memisahkanya dari pengetahuan indra serapan.

INTELEKTUAL PROFETIK
                “Orang-orang yang terpanggil untuk melakukan upaya-upaya perbaikan di tengah situasi dan kondisi yang sarat kerusakan adalah orang-orang yang memiliki semangat profetik tinggi...ketiadaan harapan itulah yang kemudian menyebabkan orang-orang tertentu yang memiliki komitmen kuat kepada panggilan profetik untuk mengabdikan diri dengan melakukan berbagai macam upaya perbaikan.”
-Muhammad Nasih

                Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolak ukur kebenaran. Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, oleh karenanya manusia merasa cukup dengan dirinya sendiri. Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme yang membawa paradigma antroposentrisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan yang tak terperikan baik terhadap alam maupun manusia itu sendiri. Jadi alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi. Dehumanisasi menurut Freire adalah ketika manusia memperlakukan manusia lainnya secara tidak adil, sesama manusia saling menghancurkan, dan manusia sudah kehilangan esensinya sebagai manusia (makhluk). Untuk dapat menyelesaikannya bisa digunakan teologi pembebasan.
                Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi pembebasan berupaya untuk berteologi secara kontekstual. Teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, bias ideologi. Teologi pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan.
                 Gerakan profetik apabila kita komparasikan pun hampir menyerupai teologi pembebasan, gerakan profetik sama-sama menggunakan agama sebagai sumber inspirasi bagi pembebasan manusia dari proses dehumanisasi dan hagemoni struktural. Istilah profetik berasal dari kata prophet yang berarti nabi. Kata profetik juga menjadi ikon dalam perjuangan pembebasan yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan Amerika Latin. Nabi adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab sosial. Ia bekerja kembali dalam lintasan waktu sejarah, hidup dengan realitas sosial kemanusiaan dan melakukan kerja-kerja transformasi sosial. Seorang nabi datang dengan membawa cita-cita perubahan dan semangat revolusioner. Roger Garaudy dalam bukunya janji-janji islam mengatakan menurutnya filsafat barat tidak memuaskan dikarenakan hanya terombang-ambing antara dua kutub idealisme dan materialisme tanpa kesudahan.
                Istilah intelektual profetik dimaksudkan sebagai mereka yang memiliki kesadaran akan diri, alam dan Tuhan yang menisbatkan semua potensi yang dimiliki sebagai pengabdian untuk kemanusiaan dengan melakukan humanisasi dan liberasi, yang dijiwai dengan transendensi di semua dimensi kehidupan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Ada beberapa indikator mendasar dari pemaknaan hal tersebut yang menopang konseptual gerakan profetik:
1)    Humanisme
Adalah kolaborasi antara sebuah gagasan mendasar tentang pandangan ekologis atau lebih implisitnya adalah kohesi sosial. Paradigma seperti ini berupaya membongkar kegiatan ritus menuju transformasi praksis, tidak semata terjebak dalam hal-hal seremonial teologis. Humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris akan mengangkat kembali martabat manusia. Dengan konsep ini manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tap tujuannya adalah untuk kepentingan kemanusiaan sendiri.
2)    Liberasi dalam konteks ilmu
Ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transedental, dalam ilmu sosial profetik dipahami  dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hagemoni kesadaran palsu. Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga sangat peka dengan ketidakadilan. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkret.
3)    Transedensi
Merupakan dasar dari dua unsur yang lain, transedensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam ilmu sosial profetik. Transendensi dapat berperan penting  dalam memberikan makna  yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia.
               
EPILOG
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”
-Q.S Ali-Imran : 191

Gerakan intelektual profetik yang ingin diusung buaknlah sebuah gerakan yang ingin menyeret realitas masyarakat Indonesia kontemporer kembali ke realitas zaman Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Gerakan ini berusaha menyerap nilai-nilai yang dituangkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam Al-qur’an dan Hadits untuk kemudian dikontekstualisasikan secara humanis pada kondisi kekinian. Melalui gerakan profetik inilah, nilai-nilai keagamaan yang universal akan terartikulasikan ke dalam realitas kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, sehingga realitas Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur yang selama ini kita perjuangkan akan termanifestasikan.
Memassifikasikan paradigma gerakan intelektual profetik memiliki konsekuensi untuk melahirkan profil-profil kader yang memiliki karalter profetik. Menurut Zakiyuddin Baidhawy kader profetik akan memiliki dua karakteristik yang menonjol, yaitu kader mujtahid dan kader mujahid. Mujtahid adalah kader-kader yang concern pada wilayah pembangunan konsep dan mengawal visi gerakan agar teraktualisasikan dalam wujud gerakan yang nyata, sedangkan kader mujahid adalah kader yang akan mentransformasikan konsep dan visi profetik dalam wujud gerakan dan bersinggungan secara langsung dengan realitas yang objektif.

BIBLIOGRAPHY
Al-Qur’an al Karim
Huda, Miftachul dkk.2012. Menatap masa depan gerakan IMM: refleksi jelang setengah abad. Yogyakarta : Satu arah Project.
DPD IMM Jawa Tengah.2012. Mewujudkan Gerakan Profetik demi Indonesia Berkeadilan. Semarang : IMM Press.
Budiyanto, Dwi.2010. Prophetic Learning : Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian. Yogyakarta : Pro-U Media.

MEMBACA PETA POLITIK MUHAMMADIYAH



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJ8JXMH0z4kouXGrJTMqLVlRKqqiq-MPQ1PXKlb9ZymJy1UdvRh06CsxTtm_ybi0B7C2ODJ6l6LA7Xkvqz969PwcUu4EiAzAGNqq5wFqqBCYFiuPq1Q_ouF1JasETDEXGECgL5ooedrTU/s200/MUHAMMADIYAH.jpeg
Soleh Amini Yahman
Waka Lembaga Pustaka Seni dan Budaya PDM Solo
Dosen Fakultas Psikologi UMS

Dalam konstelasi politik di Indonesia, Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dengan jumlah anggota tidak kurang dari 40 juta jiwa, merupakan potensi yang sangat luar biasa dalam dinamika kehidupan partai partai politik di Indonesia. Tidak mengherankan jika akhirnya banyak tokoh-tokoh dari berbagai partai politik yang mencoba merapat dan berusaha menggandeng Muhammadiyah agar memberikan dukungan demi eksistensi partainya. Bahkan ada partai politik yang mengklaim dirinya sebagai partainya wong Muhammadiyah.

kegemerlapan kehidupan politik praktis memang sempat mengoda idialitas politik beberapa kader dan tokoh Muhammadiyah untuk mempolitikan Muhammadiyah. Tetapi pimpinan pusat Muhammadiyah dengan tegas kembali meneguhkan jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi non partai dan tetap menjaga netralitas kehidupan organisasi dari aktivitas kepartaian manapun juga. Muhammadiyah tetap beristiqomah sebagai ormas Islam keagamaan yang bergerak pada bidang dakwah amar makruf nahi munkar. Oleh karena itu, dengan sekuat tenaga Muhammadiyah benar-benar menjaga jarak dengan partai politik manapun, termasuk dengan Partai Amanat Nasional (PAN) maupun Partai Matahari Bangsa (PMB) yang memang secara defacto memiliki keterkaitan sejarah, khususnya terkait dengan sejarah kelahiran partai-partai tersebut yang didirikan dan dilahirkan oleh kader dan putra-putra terbaik Muhammadiyah. 
Boleh Berpolitik
Lahirnya PAN maupun PMB sempat menimbulkan persepsi bahwa Muhammadiyah mulai limbung dalam menjaga konsistensi khitah perjuangannya sebagai organisasi non politik praktis. Kuatnya persepsi tersebut tidak lepas dari pengaruh nama-nama besar seperti Profesor Dr. M. Amien Rais sebagai ketua umum PAN dan mantan ketua pimpinan pusat Muhammadiyah pada waktu itu. Juga nama besar M. Darukutni (ketua umum PMB) sebagai tokoh generasi muda Muhammadiyah yang cukup populer dan kharismatik di kalangan generasi muda Muhammadiyah. Situasi persepsional yang membingunkan warga Muhammadiyah ini segera diluruskan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan pernyataan politik yang cukup tegas dan tangkas, bahwa jika ada yang menempatkan PAN maupun PMB sebagai partainya Muhammadiyah, maka hal itu merupakan penempatan yang salah tempat . Muhammadiyah tidak pernah mendirikan partai atau berafiliasi kepada partai politik manapun juga (Baca : Majalah Langkah Baru 2 maret 2007).
Namun demikian Muhammadiyah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada segenap warga, kader maupun pengurus Muhammadiyah untuk berpolitik atau menjadi pengurus partai politik manapun selama partai tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan Pancasila. Dalam aktivitas politik warganya, Muhammadiyah tidak pernah memberi arahan, tuntunan, bimbingan maupun nasehat terkait dengan perilaku dan pilihan politik warganya. Hal ini berarti Muhammadiyah tidak melarang dan tidak pernah mengharamkan warganya untuk berpolitik. Oleh karena itu Muhammadiyah meminta dan selalu mengingatkan kepada setiap pengurus dari tingkat pusat hingga pengurus ranting, agar segera mengurungkan niatnya menjadi pengurus Muhammadiyah jika niat itu dimaksudkan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik guna mendapatkan jabatan-jabatan politik tertentu, baik pada jabatan legislatif maupun jabatan eksekutif.
Dalam sejarah perkembangannya, hingga berusia 100 tahun pada saat ini, Muhammadiyah tidak pernah tercatat sebagai partai politik ataupun beafiliasi pada partai politik manapun, meskipun peluang menjadi partai Islam sangat terbuka. Dibawah komando kepemimpinan KH. AR Fakhrudin, sekitar tahun 1970-an Muhammadiyah pernah “dipaksa” oleh pemrintah orde baru agar mempolitikkan Muhammadiyah pada garis politik praktis. Namun dengan sikap santun dan tawadu’ Muhammadiyah menolak dan tetap berkhidmad pada gerakan dakwah Islam yang non partisan. 
Politik Muhammadiyah
Menyusur peta perjalannan Muhammadiyah yang telah memasuki usia 1 abad, akan banyak diketemukan keunikan sejarah yang jarang atau bahkan tidak ada dalam kelompok ormas sebesar persyarikatan Muhammadiyah ini. Keunikan tersebut adalah tidak adanya nafas ‘perebutan’ untuk menjadi ketua umum. Oleh karena itu dalam pelaksanaan berbagai muktamar selama ini hingar bingar perebutan untuk menjadi ketua umum Muhammadiyah tidak pernah seru sehingga tidak banyak menarik insan pers untuk mengekpose perhelatan muktamar muhammadiyah secara besar-besaran karena tidak ada ‘serunya”. 
Kondisi ini bukan berarti menempatkan orang-orang Muhammadiyah sebagai orang yang bermental ‘iren’ dalam pengertian bermalas-malasan untuk mewujutkan responsibilitas sosial politik mereka kepada Muhammadiyah. Konsep kepemimpinan kolektif yang menjadi pola dan acuan kepemimpinan dalam persyarikatan Muhammadiyah telah mengajarkan bahwa tugas menghidup-hidupkan dan menggembirakan umat dalam persyarikatan adalah menjadi tugas bersama, bukan tugas individual ketua umum, yang sangat besar kemungkinannya berimplikasi politik tertentu. Dalam konsep kepemimpinan kolektif ini kerendahatian dan kerjasama yang solid menjadi ciri utama, sehingga para pimpinan Muhammadiyah terhindar dari keterjerambapan ambisi politik individualnya karena ada unsur saling mengingatkan dan tegur sapa yang santun. 
Selain daripada itu, dalam kaitannya dengan perjalanan kehidupan sosial politik Muhammadiyah ke depan, KH. Ahmad Dahlan tokoh pendiri Muhammadiyah pernah berpesan terhadap 6 hal yang harus menjadi perhatian dan dipedomani oleh para pimpinan dan warga Muhammadiyah dalam bermuhammadiyah. Pertama, tidak sekali-kali menduakan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain. Kedua, tidak sentimentil dan tidak sakit hati bila menerima celaan dan kritikan. Ketiga, Tidak berlaku sombong dan berbesar hati jika menerima pujian. Keempat, tidak ujub-kibir-riya’ atau jubriya. Kelima, ikhlas murni hatinya kalau sedang berkembang harta benda, pikiran dan tenaga. Keenam, bersungguh-sunguh hati dan tetap tegak pendiriannya. 
Berangkat dari enam butir pesan inilah pimpinan dan warga Muhammadiyah mencoba untuk selalu belajar beristiqomah dan berkhidmad pada kehidupan sosial politik khas Muhammadiyah, yaitu politik dakwah amar makruf nahi munkar. Implementasi politik amar makruf nahi munkar sebagaimana dimaksud dalam konsep politik muhammadiyah ini banyak diwujutkan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelayanan kesehatan. Melalui ratusan lembaga pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi serta ratusan rumah sakit PKU, balai pengobatan maupun klinik-klinik kesehatan di berbagai pelosok desa di seluruh pelosok tanah air, Muhammadiyah menujukkan kiprah politiknya dalam memajukan dan mensejahterakan umat dan bangsa Indonesia. Berpolitik dalam kacamata Muhammadiyah tidak mesti harus diperjuangkan melalui kiprahnya di lembaga-lembaga politik praktis yang berorientasi pada aspek kekuasaan. 
Lantas, apakah hal ini berarti Muhammadiyah harus menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari kiprahnya politik praktis ? jawabnya adalah tidak. Jika sekiranya kemuhammadiyahannya tersebut membawa seorang warga/pimpinan muhmmadiyah ke ranah politik praktis, maka kerjakanlah hal itu dengan sungguh-sungguh sebagai wujud dan tanggung jawabnya sebagai warga Negara, dan niatkanlah amanah itu sebagai bagian dari dakwah Muhammadiyah. Konstelasi pikiran dan sikap yang demikian inilah yang pada akhirnya dapat memposisikan Muhammadiyah sebagai organisasi massa Islam menjadi besar, disegani dan selalu diperhitungkan dalam kancah kehidupan sosial politik di Indonesia.
Amal Usaha sebagai Basis Politik
Berbeda dengan badan usaha milik Negara (BUMN) yang konon sering dijadikan sebagai sumber financial partai-partai politik tertentu, maka amal usaha Muhammadiyah (AUM) bukanlah merupakan sumber dana bagi person-person Muhammadiyah yang kebetulan berkiprah di partai politik. Muhammadiyah memiliki banyak amal usaha berupa lembaga pendidikan, rumah sakit, pondok pesantren maupun lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi. Dinamakan dengan istilah amal usaha karena dalam pengelolaan lembaga lembaga AUM tersebut didasarkan pada aspek keikhlasan beramal namun juga didasarkan pada sisi profesionalitas pengelolaan sebuah usaha. Dengan konsep ini AUM dapat terus bertahan dan berkembang menjadi besar serta memberi hasil nyata sebagai sumber penghidupan ratusan ribu umat.
Lembaga amal usaha Muhammadiyah adalah milik Muhammadiyah dan dijadikan sebagai sarana untuk melakukan dakwah Islam amar makruf nahi munkar. Dengan demikian maka orang-orang yang berada didalam lingkungan amal usaha muhammadiyah harus bersedia di audit kadar kemuhammadiyahannya oleh Muhammadiyah. Etika politik dalam amal usaha Muhammadiyah adalah etika baku, bahwa pengurus suatu amal usaha Muhammadiyah tidak menjadi pengurus lembaga partai politik. Hal ini sudah berjalan dan dilakukan oleh warga Muhammadiyah dengan istiqomah, amanah dan bertawadu’ (berendah hati), sehingga Muhammadiyah dapat terhindar dari kekisruhan manajemen dan kekisruhan pengelolaan antara mengelola amal usaha dan mengelola partai politik. 
Dalam perjalanannya yang telah memasuki usia 100 tahun, Muhammadiyah kini telah menjelma menjadi lokomotif besar yang menarik sekian banyak gerbong yang mengangkut berbagai manusia dengan aneka tujuan dan cita-cita. Ada yang bertujuan selaras dengan tujuan Muhammadiyah, tetap tidak sedikit pula yang hanya sekedar menumpang dengan tanpa membeli karcis sebagai penumpang gelap. Para penumpang gelap inilah yang hendak menjadikan kereta Muhammadiyah ini menjadi kendaraan polotiknya dengan cara membajak lokomotif untuk dibelokkan menuju stasuin yang lain. Terhadap para penumpang gelap inilah Muhammadiyah perlu mewaspadai dengan cara memberi dakwah dengan lebih intensif sehingga potensi mereka yang besar tidak tersia-siakan dalam membangun Muhammadiyah. Untuk itu dalam salah satu pengajian warga Muhammadiyah di kantor PDM Solo beberapa waktu yang lalu, KH Muhammad Muqodas (PP Muhammadiyah) mengingatkan kembali tiga sifat dasar kepemimpinan Muhammadiyah sebagaimana dicontohkan oleh Rasollulah, yaitu prihatin terhadap penderitaan umat, sangat menginginkan kebaikan umat dan sangat tinggi belas kasihnya terhadap umat. Siapapun pimpinan Muhammadiyah yang akan dipilih dan terpilih dalam muktamar ke 46 di Yogyakarta tangal 3 – 8 Juli 2010 nanti harus dapat mengikuti dan mengejawantahkan tiga sifat dasar sebagaimana di contohkan oleh Nabi besar Muhammad SAW sebagai panutan Muhammadiyah. Selamat Bermuktamar semoga bermanfaat dan bermaslakhat bagi kehidupan umat dan bangsa Indonesia pada umumnya .amin.

Jum`at, 2 Desember 2011 14:31:02 - oleh : admin
http://www.muhammadiyahjawatengah.org/mod/news/file/20111206_Seminar%20PDPM%20Kota%20Semarang.jpg
Semarang - Generasi muda hingga kini belum
sepenuhnya mengerti politik, bahkan sebagian dari mereka cenderung
apatis dan mudah diperalat oleh kelompok tertentu dengan cara "membeli
suara" untuk mendukung salah satu pasangan calon.

Banyak kalangan menyayangkan hal itu, Ketua Pimpinan Daerah Pemuda
Muhammadiyah (PDPM) Kota Semarang, Amrudin Mahfudh Juma'i, SE, MM, mengatakan sebagai
pengurus pemuda pihaknya berkewajiban untuk meluruskan peran gerenasi
muda agar tidak mudah "dibelokkan" ke politik praktis. "Generasi muda
itu aset masa depan, bila terlambat dalam mengarahkan akan berakibat
fatal," katanya, Senin (7/11).

Dirinya yakin, dengan memberikan bekal informasi dan pendampingan
yang berdasar pada implementasi idiologi pancasila sebagai dasar negara
sejak dini nantinya mereka akan terbuka pemikirannya. "Kami akan membuat
acara berkerjasama dengan DPD KNPI Kota Semarang, dengan mengundang
beberapa narasumber yang berkopenten," lanjutnya.

Acara yang akan digelar, Rabu (9/11) di Balai Kota tersebut nantinya
akan menghadirkan pembicara Drs H Budianto Msi, Wakil Ketua PWM Propinsi
Jateng Dr H Yusuf Suyono MA, dan PR III Unnes Prof Dr H Masrukhi MPd.

Ketua DPD KNPI Kota Semarang melalui Bandahara Harian, Yudhistira
menjelaskan, pihaknya sangat mengapresiasi kegiatan gabungan yang akan
digelar tersebut. Meski masih perdana, pihaknya berharap kedepan akan
berlanjut ke kegiatan lainnya.

"Kami di sini sebagai penggerak organisasi kepemudaan (OKP) yang ada,
dari kegiatan awalan tersebut semoga dapat berkelanjutan ke program
lainnya," jelasnya. (Fakhrudin/suara merdeka)


Pendidikan Politik Muhammadiyah

Title: Pendidikan Politik Muhammadiyah (Studi : Analisis Filosofis) Authors: Lubis, Yurial Arief Advisors: warjio
Thaher, Zakaria Issue Date: 10-Jan-2011 Abstract: Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan kemasyarakatan dengan pandangan bahwa aspek kemasyarakatan yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis daripada aspek perjuangan politik kekuasaan. Pendidikan politik merupakan salah satu fokus Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat islam yang sebenar – benarnya.dan oleh karenanya pendidikan politik haruslah mempunyai dasar pijakan yang jelas,agar bisa menjadi substansi dari sebuah orientasi,bukan hanya melalui teori namun implementasi dari prakteknya juga bisa dipertanggung jawabkan dengan baik dan benar. Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban. Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam,karena bagaimanapun juga organisasi ini merupakan organisasi islam maka sebagai konsekuensi logiknya dari rangakaian implementasi pendidikan,Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan politik Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat pendidikan politik memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan politik Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh Muhammadiyah pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut Muhammadiyah menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati. Karena sasaran penelitian ini adalah organisasi Muhammadiyah yang merupakan organisai kemasyarakatan Islam, maka studi ini didasarkan pada kerangka teori dari ajaran agama Islam (perspektif) dengan kajian filosofis pendidikan politik.penelitian dalam skripsi ini mengeksplorasi beberapa hasil kesimpulan yang dihubungkan dengan tema berikut : komitmen dan konsistensi Muhammadiyah,filosofis pendidikan politik Muhammadiyah, dan gagasan Muhammadiyah.

Manifesto Politik Muhammadiyah

Mengenal Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
            Saat kita membicarakan Muhammadiyah dalam suatu bingkai organisasi, maka kita tidak bisa terlepas dari seorang tokoh pendiri Muhammadiyah yang dengan pemikirannya yang cerdas dan maju mampu melahirkan pemikiran ‘menjalankan Islam yang murni dan secara konsekuen’ serta ‘kembali kepada ajaran agama Islam yang sebenarnya’. Tokoh yang masyur ini bernama Muhammad Darwisy atau lebih dikenal dengan nama Kyai Haji Ahmad Dahlan. Beliau dilahirkan sebagai anak ke-empat dari tujuh bersaudara yang kesemuanya adalah perempuan, kecuali beliau dan adik bungsunya. Ayah beliau adalah KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Ibu beliau adalah Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Dalam silsilah keluarganya, beliau termasuk keturunan ke-dua belas dari Maulana Malik Ibrahim yang merupakan seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo.
            Pemikiran mengenai kelahiran Muhammadiyah sebagai suatu organisasi yang bertujuan memurnikan Islam tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran pembaharuan yang diperolehnya ketika menunaikan ibadah Haji pada umur 15 tahun (1883) dan dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Mekkah selama lima tahun. Di Mekkah ini ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah yang pada akhirnya memberikan semangat, pandangan dan ‘pencerahan’ baru. Untuk dapat melaksanakan agama Islam yang seperti itu Beliau berpendirian bahwa umat Islam harus dibina di bidang Ilmu, pengertian tentang agama, dan dibina bagaimana melaksanakan agama Islam yang sebenarnya. Dari hal inilah maka Beliau sampai kepada keyakinan bahwa untuk melaksanakan Islam yang sebenarnyanya harus dengan organisasi.
             Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Indonesia. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, “Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur’an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir”.

Manifesto Politik Muhammadiyah
            Memang, secara langsung Muhammadiyah tidak berperan dalam politik praktis di Indonesia. Akan tetapi, secara tidak langsung pemikiran-pemikiran Muhammadiyah telah mempengaruhi kebijakan Negara Indonesia bahkan dari awal berdirinya Negara ini hingga sekarang. Sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga akhir era demokrasi Liberal, ada 18 Kabinet dalam pemerintahan Indonesia. dalam setiap cabinet itu memiliki kontribusi kecuali dalam 4 kabinet yaitu Kabinet Amir I, Kabinet Pemerintahan darurat RI, Susanto, dan Ali I. Dari sinilah manifesto politik Muhammadiyah mulai ada, meskipun hal itu secara tidak langsung.
Muhammadiyah sebagai gerakan Sosial Pendidikan Kemasyarakatan di Indonesia memiliki massa yang sangat besar. Bahkan memiliki anggoa hingga 4 juta orang di seluruh negeri ini. Ini menjadikan Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam terbesar kedua setelah NU (Nahdatul Ulama). Secara implisit, keduidukan Muhammadiyah begitu strategis dan memiliki kekuatan yang cukup besar bagi sebuah perjalanan politik Indonesia. Memang, apabila kita melihat pada awal berdirinya Muhammadiyah, organisasi Muhammadiyah ini tidak menginginkan bergerak pada bidang politik praktis. Organisasi ini lebih bergerak pada bidang  sosial dan kemasyarakatan serta pendidikan. Akan tetapi apabila kita dilihat pada era berkuasanya Masyumi, pada awal tahun 50an Muhammadiyah banyak berkontribusi dalam kebijakan Masyumi, meskipun sangat sulit diidentifikasikan. Orang-orang Muhammadiyah banyak yang bergerak untuk mempengaruhi kebijakan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia).  Masyumi yang pada saat itu merupakan partai Islam satu-satunya di era awal tahun 50 an, menjadi kendaraan politik bagi Muhammadiyah secara tidak langsung.  Karena didalam Masyumi sendiri terdapat organisasi-organisasi Islam lain seperti NU.
            Pada tanggal 8 September 1959 Muhammadiyah mengakhiri hubungannya dengan Masyumi. Setelah  menjadi pemeran tunggal di tubuh Masyumi tersebut. Ini dikarenakan NU keluar dari Masyumi.
            Di era modern seperti sekarang ini,  Muhammadiyah memiliki 2 corak pemikiran:
1. Yang pertama corak modernisme,  yakni pemikiran politik yang menginginkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang non politik tetapi tidak anti politik. Akar pemikiran ini terfokus pada cita-cita Muhammadiyah, dan realisasinya ada pada 2 titik gerakan, yaitu pembaruan ajaran Islam dan kemenangan dunia Islam.

2. Yang kedua, adalah corak sekulerisme sebagai pemikiran politik yang menginginkan berubahnya identitas Muhammadiyah, dari gerakan Islam menjadi partai politik.

            Ini secara tidak langsung, sangat mempengaruhi Muhammadiyah untuk melakukan politik dualisme dengan menggabungkan dua pemikiran tersebut. akhirnya, banyak tokoh Muhammadiyah yang memelopori gerakan politik Indonesia. Seperti Amien Rais yang menjadi batu loncatan bagi bangsa Indonesia dalam mengakhiri rezim Orde Baru, dan melangkah kedalam Orde Reformasi. ini menandakan bahwa Muhammadiyah telah melewati berbagai fase untuk mencari identitas baru sebagai gerakan sosial, namun tidak menutup kemungkinan untuk memberikan kontribusinya dalam gerakan politik Indonesia.
Daftar Pustaka

Rais, Amien, 1995, Moralitas Politik Muhammadiyah, Dinamika, Yogyakarta
Peacock, James, 1986, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia. Cipta Kreatif Indinesia. Jakarta
Syaifullah, 1997, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi. Grafiti, Jakarta
Tamimy, Djindar, 2003, Muhammadiyah; Sejarah, Pemikiran, dan Amal Usaha, UMM Press, Malang



Pendidikan Politik




Jurang kemakmuran antara negara miskin(kata berkembang tidaklah tepat) dengan negara maju sekarang ini makin menganga lebar dan ironisnya yang menjadi negara miskin banyak dimayoritasi umat Islam. Apa hanya karena ketidak beruntungan dari sisi SDM dan sumber daya saja  ?!. Itu tidaklah tepat benar. Yang paling mempengaruhi sebenarnya adalah kebijakan-kebijakan negara maju dibawah kendali para Zionis baik dari sisi ekonomi, politik, budaya dll mengintervensi negara miskin. Kita bahas Indonesia sbg negeri Islam terbesar. Ada 3 masalah mengapa Indonesia tetap terpuruk walau
  sudah berganti-ganti pemimpin dan kabinet :

  1. Faktor Internal, dimana oknum-oknum(jumlahnya banyak), tidak mau adanya
     perbaikan baik ekonomi, politik, pemberantasan korupsi dll. Mereka tidak mau karena         sebab :

 1. Posisi mereka sudah enak dengan situasi spt ini, bergelimangan harta, jika berubah mereka takut menjadi miskin . 2 Mereka ketakutan jika nantinya mereka  terjerat hukum karena adanya perbaikan termasuk hukum.
  
  2. Faktor external. Jangan pernah lagi umat Islam berpikiran bahwa perang salib dulu itu tidak tepat dibawa-bawa di era sekarang. Camkan ini, bahwa mereka yang dipimpin Amrik dibawah kendali Zionis selalu mengontrol perkembangan Islam karena mereka sangat tahu bahwa Islam itu benar, Umat Islam itu hebat. Dijaman kekhalifahan, Umat Islam dalam peradaban yang terang benderang, dan mereka berada dalam kegelapan. Hanya orang bodoh saja yang membiarkan Umat Islam maju, begitu pikiran mereka. Jadi segala kerusuhan, terpuruknya ekonomi, rusaknya moral itu sebagian diakibatkan oleh mereka.
  
  3. Tidak adanya pemimpin dari kita yang kuat dan independent terutama menghadapi pengaruh 2 faktor tersebut. Padahal sekarang Presiden dipilih langsung oleh rakyat, berarti dia punya pendukung yang luar biasa besarnya, tidak ada alasan untuk ragu untuk menerapkan kebijakan menurut akal sehat, hati nurani dan mengacu kepada kepentingan rakyat. namun yang terjadi kita lihat terkadang lebih takut ancaman dari segelintir Parpol pendukung dibanding suara rakyat, aneh bukan.  Tak patut kita berputus asa,  yang dapat kita lakukan adalah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat terutama dalam memilih pemimpin, jangan terhanyut kharismatik seseorang, fanatik kesukuan dll sehingga faktor-faktor yang justru diperlukan bagi seroang pemimpin diabaikan.  Jujur saja, yang beginian ini banyak didapat dari pemilih pulau Jawa. Rakyat dari daerah Jawa itu memang punya sifat primodial, nunut sama yang diatas. Bayangkan seandainya pemilih dari Jawa dengan presentasi paling besar melek politik
dan tidak mengulang kembali kesalahan yang sama dalam pemilu, maka akan didapat pemimpin yang lebih baik. Tugas kita sekarang adalah memberikan pemahaman bahwa acuan kita dalam memilih pemimpin itu dari Al-Quraan dan Hadist. Faktor ketigalah yang masih bisa kita harapkan, walau rakyat rusak tapi pemimpin bagus(lebih mudah karena hanya membutuhkan 1 orang yang baik), bisa menerapkan kebijakan2 yang baik. Bisa saja muncul pemimpin baik walau ditengah rakyat jelek, dulu Rasulullah SAW berada ditengah masyarakat jahiliah, jika ALLAH berkehendak.